Saturday, February 12, 2011

Membaca adalah sebuah perjalanan




Apa yang paling Anda sukai dari membaca?
Anda termasuk tipe pembaca yang seperti apa?
Apakah Anda pembaca yang selalu penasaran dengan akhir cerita? Pembaca yang menikmati kegelisahan dan rasa penasaran? Atau pembaca yang selalu mulai dari halaman terakhir cerita?


Kebetulan saya termasuk golongan yang terakhir J. Karena saya duga tidak banyak orang yang masuk dalam golongan tersebut, tentu boleh saya berbagi cerita sedikit tentang mengapa saya selalu mulai membaca dari halaman terakhir.


Menebak-nebak akhir cerita sebuah buku bukanlah bagian yang saya sukai dari kegiatan baca membaca. Karena itu, saya tidak pernah membenci spoiler. Malah saya cinta sekali pada spoiler. Saya tidak termasuk pembaca yang mau repot-repot menahan diri untuk tidak mengetahui akhir cerita sebelum membaca buku.
Self indulgement? Bisa jadi. Pengecut? (karena tidak berani memulai sesuatu tanpa mengetahui bagaimana akhirnya). Mungkin juga. Saya merasa lebih enak membaca buku kalau saya sudah tahu bagaiman akhir ceritanya. Saya jadi tahu bagaimana harus menyetel mood saya. Jadi ini semacam mekanisme untuk menghindari rasa kecewa, jika ceritanya tidak seperti yang diharapkan. Saya selalu mulai membaca buku dengan melihat dua halaman terakhirnya. Meskipun tidak selalu bisa memberikan gambaran mengenai akhir cerita, paling tidak saya sudah tahu apa yang akan saya temui di ujung nanti.


Lalu ada yang bertanya, jadi untuk apa lagi membaca bukunya dari awal?


Karena, bagi saya, yang terpenting dari membaca buku adalah kegiatan membacanya itu sendiri. Membaca buku bagi saya bukanlah main ‘perang-perangan’ atau ‘kalah-menang’ dengan si penulis. Ceritanya terlalu gampang ditebak, twistnya basi, dan sebagainya. Bagi saya, itu semua tidak masalah.
Membaca itu, seperti sebuah perjalanan. Yang penting adalah apa yang kita temukan ketika kita berjalan dari satu halaman ke halaman lainnya, dan bukan apa yang ada di halaman yang akan menjadi akhir perjalanannya itu.


Ini tentang proses.


Membaca adalah proses pertemuan kita dengan satu ide dan ide lainnya yang terserak di baris-baris kalimat sebuah buku. Membacanya adalah perjalanan mengunjungi dan berkenalan dengan gagasan-gagasan dalam cerita, meleburkan diri di dalamnya, menjadi bagian darinya meskipun hanya untuk waktu yang sangat singkat, lalu berpindah ke halaman lain, dan menemui gagasan yang lain pula.


Mungkin saja kita sudah tahu kalau di akhir cerita nanti, si A akan menikah dengan si B. Tapi apakah kita tidak ingin tahu bagaimana sampai si B mau menerima pinangan si A?
Kalaupun kita sudah tahu kenapa si B mau menerima pinangan si A, paling tidak, kita tentu ingin tahu, apa yang si B pikirkan ketika menerima si A? Bagaimana pikirannya bekerja, secara tidak sadar mungkin, menghubungkan berbagai alasan (misalnya: A adalah teman masa kecil, A baik hati, B dan A mengenal satu sama lain dengan baik, lebih baik A daripada tidak sama sekali, dan lain-lainnya) yang ada dalam kepalanya untuk diramu menjadi satu baris alasan utama kenapa dia harus menikah dengan A.


Saya, sungguh ingin tahu bagaimana pikiran para tokoh dalam cerita itu bekerja. Proses yang mereka lalui untuk sampai pada suatu hal. Apa yang mereka lakukan dan pikirkan, dan mengapa itu penting bagi mereka. Plot dan ending yang tidak tertebak adalah sebuah bonus. Sajian utamanya adalah kata-kata dan gagasan yang berserakan di halaman-halaman buku.


Kita selalu mencomot sesuatu dari apa yang kita baca atau kita tonton, dan itu tidak selalu bisa didefinisikan seperti “pelajaran” atau “moral of the story”. Moral of the story adalah sesuatu yang kita ambil dengan sadar dan sukarela, kadangkala dengan bantuan dari endorser atau reviewer. Tetapi ada hal-hal lain yang juga kita peroleh ketika kita membaca sebuah cerita.


Sesuatu yang subtil, seperti semangat, kegairahan, atau kesedihan. Ketika membaca, tanpa sadar kita menyerap hal-hal itu dan menyimpannya dalam diri kita. Itu adalah jejak yang ditinggalkan sebuah buku pada diri kita.  Hal-hal yang membuat kita kembali lagi untuk menemui cerita-cerita yang ada di dalam sebuah buku.
Karena itulah, ada saat-saat saya merasakan kerinduan yang sangat pada buku-buku Agatha Christie. Kerinduan ingin merasakan ketegangan yang terselubung, dan kerinduan mengamati proses bekerjanya pikiran Hercule Poirot. Ada kalanya saya merasa kangen sekali pada buku Divakaruni, misalnya. Karena saya rindu, tidak hanya pada bahasanya yang puitis, tetapi juga pada eksotisme dan nuansa India yang tidak pernah absen dari setiap bukunya.


Kita merasakan kerinduan pada suasana yang ditawarkan sebuah buku pada kita.


Membaca, buat saya, adalah seperti bercermin.


Jadi,  tidak perlu sebal ketika membaca buku kalau ceritanya biasa-biasa saja. Semua cerita adalah apa yang 
sudah terjadi di dunia ini (kecuali science fiction tentunyaJ). Sebuah cerita fiksi sekalipun, selalu memiliki hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari di dalamnya. Karena yang menulis adalah juga manusia.
Kenapa melengus kalau si orang jahat lama matinya, atau si orang jahat bertobat? Bukankah kedua hal itu sama saja? Sering terjadi di belahan manapun di dunia ini.
Cerita cinta, cabangnya memang hanya empat: jadian, putus, selingkuh, atau tidak ketiganya, tapi mencintai diam-diam dari jauh. Cerita keluarga, cabangnya adalah: anak baik orang tua baik, orang tua berantakan anak baik, orang tua berantakan anak berantakan, orang tua tidak akur anak sedih, dan seterusnya dan seterusnya.
Hampir selalu ada hal-hal itu dalam sebuah cerita. Selalu ada yang berulang. Karena seperti itulah kehidupan. Selalu ada yang bisa dilihat di dalam sebuah cerita, meskipun tidak selalu berguna untuk kehidupan. Dan itu sendiri, adalah sebuah pelajaran.


Membaca seperti melihat bagaimana bagian-bagian dari diri kita (ternyata) terhampar di sepanjang baris-baris kalimat dalam buku, sebagai satu keping dari ribuan keping puzzle cerita, ide, karakter. Selalu ada sesuatu yang ‘mirip’ diri kita di sana. Oh, inilah saya si menyebalkan. Oh, rasanya saya kenal yang ini, hem, tentu saja, ini adalah impian masa kecil. Oh, yang ini kok rasanya seperti menyindir saya ya. Dan seterusnya.
Kita merefleksikan diri kita pada huruf dan baris. Kita berusaha mencari-cari sepotong diri kita pada huruf dan baris. Kita menemukan sesuatu yang lain selain diri kita pada huruf dan baris.


Seperti itulah menurut saya membaca buku

No comments:

Post a Comment